DEMIANUS BAGALI (ANU) DAN DUNIA BURUNG
MALUKU UTARA
Hanya ada empat nama orang
Indonesia yang disebut dalam buku A Guide to The Birds of Wallacea.
Salah satunya adalah Anu, sapaan Demianus Bagali (49). Pria kelahiran Domato Kec. Jailolo Selatan Kab. Halmahera Barat, menjadi
narasumber penting dalam penelitian dan konservasi burung-burung di kawasan
Maluku Utara.
Anu mulai belajar tentang
dunia burung sejak tahun 1982, saat menjadi asisten David Bishop, salah satu
penulis buku panduan burung-burung wallacea itu. Awalnya, tugas Anu hanya
mengantar ke lokasi-lokasi pengamatan burung di Pulau Halmahera. Pekerjaan yang
ringan dengan upah yang lumayan untuk ukuran waktu itu, Rp 5.000 per hari.
"Tetapi, saya sempat
malas karena kerjanya hanya jalan-jalan saja. Tidak ada tugas lain. Kalau David
Bishop mengamati burung, saya tiduran," tutur Anu mengenang.
Ia memutuskan bertahan
karena David Bishop sangat sabar dan telaten mengajarinya nama-nama spesies
burung dalam bahasa Inggris. Anu mulai tertarik dengan kegiatan barunya itu,
yang lebih menantang secara intelektual dibandingkan profesi sebelumnya sebagai
operator gergaji mesin pada sebuah perusahaan pemilik HPH.
Dua tahun kemudian, ia
mulai fasih menyebut nama burung- burung di sekitar Sidangoli, Tobelo dan
Galela. Ia pun aktif dalam pembuatan film tentang burung wallacea pada 1984.
Tahun 1986, David Bishop
memercayakan survei burung di habitat-habitat baru kepada Anu. Ia diajari cara
merekam suara burung, membuat sket, dan teknik pengamatan burung. Ia kemudian
berjalan sendiri untuk survei burung-burung berkeliling Pulau Halmahera.
Senjatanya adalah teropong,
alat perekam suara, buku, dan pena. Ia menembus hutan dengan metode transek
untuk mencari berbagai macam burung. Setiap burung dibuat sketnya lengkap
dengan deskripsi warna bulu, paruh, kaki, ukuran tubuh, kondisi habitat, dan
topografi lokasi pengamatan.
Pekerjaan Anu ini mirip
dengan tugas Ali, asisten Alfred Russel Wallace (1823-1913), saat meneliti
kekayaan alam Indonesia. Tugas yang kelihatannya sepele tetapi menumbuhkan rasa
kecintaan terhadap alam dan kehidupan liar di dalamnya.
"Saya melakukan survei
hingga tahun 1995, dan menemukan 114 jenis burung, 24 di antaranya endemik
Maluku dan empat endemik Halmahera," tutur Anu.
Ia fasih sekali menyebutkan
nama keempat burung endemik Halmahera, yaitu Dusky Brown Oriele, Halmahera
Cockoo Shrike, Drummer Rail, dan Dusky Friarbird. Semua yang disebutkan itu
cocok dengan isi buku panduan.
Survei habitat
Pengetahuan Anu tentang
keanekaragaman burung di Maluku Utara, khususnya Halmahera, menarik Bird Life
International untuk mengontraknya. Ia kemudian ditugaskan untuk menyurvei
habitat burung di hutan Aketajawe dan Lolobata.
Hasilnya, di dalam hutan itu ditemukan semua burung wallacea di Maluku Utara. Data itulah yang menjadi salah satu pendorong terbentuknya Taman Nasional Aketajawe Lolobata pada tahun 2003.
Hasilnya, di dalam hutan itu ditemukan semua burung wallacea di Maluku Utara. Data itulah yang menjadi salah satu pendorong terbentuknya Taman Nasional Aketajawe Lolobata pada tahun 2003.
Tahun 1997 buku A Guide to
The Birds of Wallacea diterbitkan. Buku ini memuat sket, nama, dan deskripsi
burung-burung di kawasan wallacea yang meliputi Nusa Tenggara, Sulawesi,
Maluku, dan Maluku Utara. Pada tahun yang sama, Anu diajak oleh para peneliti
dari Norwegia untuk meneliti keanekaragaman elang di Halmahera.
Seiring dengan makin
dikenalnya kekayaan alam Halmahera, banyak tamu-tamu dari luar negeri yang
berkunjung. Mereka adalah para penikmat keindahan burung di alam bebas.
Rombongan yang rutin berkunjung adalah organisasi King Bird Tour dari Amerika
Serikat dan Birdquest Tour dari Inggris.
Peluang itu dimanfaatkan
Anu untuk usaha wisata sekaligus mendukung konservasi. Ia kemudian menjadi
pemandu wisata secara mandiri. Para tamu pun disediakan pondok-pondok sederhana
untuk istirahat.
"Sebenarnya, saya
membuat pondok-pondok di hutan itu untuk menjaga burung. Saya tinggal di sana
supaya tidak ada orang yang mengganggu burung. Kalau ada yang jaga, orang tidak
berani berburu burung di sini," ujar Anu yang memilih tinggal di hutan
sejak tahun 1989.
Kegiatan wisata ini
digunakan Anu untuk menarik anak-anak muda ikut menjaga hutan. Mereka diajarkan
menjadi pemandu wisata pengamatan burung dan dibayar saat ada tamu. Keuntungan
ekonomi ini yang menjadikan masyarakat di sekitar hutan mau menjaga burung.
Pengaderan ini dilakukan di Sidangoli, Labi-labi, Weda, dan Buli.
"Kader yang saya ajari
memang belum banyak. Tetapi, mereka bisa menjadi contoh bagi warga di
sekitarnya untuk menjaga hutan dan burung-burung," kata Anu.
Saat ini, Anu tinggal di pondok kayu beratap
daun, di hutan Kali Batu Putih, Domato, Jailolo Selatan. Di pondok itulah
tamu-tamunya biasa menginap. Kawasan hutan itu ia jaga sejak tahun 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar