Minggu, 03 Juni 2012

Profil


DEMIANUS BAGALI (ANU) DAN DUNIA BURUNG
MALUKU UTARA

Hanya ada empat nama orang Indonesia yang disebut dalam buku A Guide to The Birds of Wallacea. Salah satunya adalah Anu, sapaan Demianus Bagali (49). Pria kelahiran Domato Kec. Jailolo Selatan Kab. Halmahera Barat, menjadi narasumber penting dalam penelitian dan konservasi burung-burung di kawasan Maluku Utara.
Anu mulai belajar tentang dunia burung sejak tahun 1982, saat menjadi asisten David Bishop, salah satu penulis buku panduan burung-burung wallacea itu. Awalnya, tugas Anu hanya mengantar ke lokasi-lokasi pengamatan burung di Pulau Halmahera. Pekerjaan yang ringan dengan upah yang lumayan untuk ukuran waktu itu, Rp 5.000 per hari.
"Tetapi, saya sempat malas karena kerjanya hanya jalan-jalan saja. Tidak ada tugas lain. Kalau David Bishop mengamati burung, saya tiduran," tutur Anu mengenang.
Ia memutuskan bertahan karena David Bishop sangat sabar dan telaten mengajarinya nama-nama spesies burung dalam bahasa Inggris. Anu mulai tertarik dengan kegiatan barunya itu, yang lebih menantang secara intelektual dibandingkan profesi sebelumnya sebagai operator gergaji mesin pada sebuah perusahaan pemilik HPH.
Dua tahun kemudian, ia mulai fasih menyebut nama burung- burung di sekitar Sidangoli, Tobelo dan Galela. Ia pun aktif dalam pembuatan film tentang burung wallacea pada 1984.
Tahun 1986, David Bishop memercayakan survei burung di habitat-habitat baru kepada Anu. Ia diajari cara merekam suara burung, membuat sket, dan teknik pengamatan burung. Ia kemudian berjalan sendiri untuk survei burung-burung berkeliling Pulau Halmahera.
Senjatanya adalah teropong, alat perekam suara, buku, dan pena. Ia menembus hutan dengan metode transek untuk mencari berbagai macam burung. Setiap burung dibuat sketnya lengkap dengan deskripsi warna bulu, paruh, kaki, ukuran tubuh, kondisi habitat, dan topografi lokasi pengamatan.
Pekerjaan Anu ini mirip dengan tugas Ali, asisten Alfred Russel Wallace (1823-1913), saat meneliti kekayaan alam Indonesia. Tugas yang kelihatannya sepele tetapi menumbuhkan rasa kecintaan terhadap alam dan kehidupan liar di dalamnya.
"Saya melakukan survei hingga tahun 1995, dan menemukan 114 jenis burung, 24 di antaranya endemik Maluku dan empat endemik Halmahera," tutur Anu.
Ia fasih sekali menyebutkan nama keempat burung endemik Halmahera, yaitu Dusky Brown Oriele, Halmahera Cockoo Shrike, Drummer Rail, dan Dusky Friarbird. Semua yang disebutkan itu cocok dengan isi buku panduan.

Survei habitat
Pengetahuan Anu tentang keanekaragaman burung di Maluku Utara, khususnya Halmahera, menarik Bird Life International untuk mengontraknya. Ia kemudian ditugaskan untuk menyurvei habitat burung di hutan Aketajawe dan Lolobata.
Hasilnya, di dalam hutan itu ditemukan semua burung wallacea di Maluku Utara. Data itulah yang menjadi salah satu pendorong terbentuknya Taman Nasional Aketajawe Lolobata pada tahun 2003.
Tahun 1997 buku A Guide to The Birds of Wallacea diterbitkan. Buku ini memuat sket, nama, dan deskripsi burung-burung di kawasan wallacea yang meliputi Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Maluku Utara. Pada tahun yang sama, Anu diajak oleh para peneliti dari Norwegia untuk meneliti keanekaragaman elang di Halmahera.
Seiring dengan makin dikenalnya kekayaan alam Halmahera, banyak tamu-tamu dari luar negeri yang berkunjung. Mereka adalah para penikmat keindahan burung di alam bebas. Rombongan yang rutin berkunjung adalah organisasi King Bird Tour dari Amerika Serikat dan Birdquest Tour dari Inggris.
Peluang itu dimanfaatkan Anu untuk usaha wisata sekaligus mendukung konservasi. Ia kemudian menjadi pemandu wisata secara mandiri. Para tamu pun disediakan pondok-pondok sederhana untuk istirahat.
"Sebenarnya, saya membuat pondok-pondok di hutan itu untuk menjaga burung. Saya tinggal di sana supaya tidak ada orang yang mengganggu burung. Kalau ada yang jaga, orang tidak berani berburu burung di sini," ujar Anu yang memilih tinggal di hutan sejak tahun 1989.
Kegiatan wisata ini digunakan Anu untuk menarik anak-anak muda ikut menjaga hutan. Mereka diajarkan menjadi pemandu wisata pengamatan burung dan dibayar saat ada tamu. Keuntungan ekonomi ini yang menjadikan masyarakat di sekitar hutan mau menjaga burung. Pengaderan ini dilakukan di Sidangoli, Labi-labi, Weda, dan Buli.
"Kader yang saya ajari memang belum banyak. Tetapi, mereka bisa menjadi contoh bagi warga di sekitarnya untuk menjaga hutan dan burung-burung," kata Anu.
Saat ini, Anu tinggal di pondok kayu beratap daun, di hutan Kali Batu Putih, Domato, Jailolo Selatan. Di pondok itulah tamu-tamunya biasa menginap. Kawasan hutan itu ia jaga sejak tahun 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar